1. Makan bangku sekolahan?
BAGAIMANA
mungkin seorang anak yang asalnya adalah orang
tak mampu menginginkan kehidupan
yang biasa-biasa saja, sementara orang lain di sekitarnya menginginkan hidup
kaya raya?
Setiap insan pasti memiliki orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Apakah itu Kakek, Nenek, orangtua, ataupun kekasih. Semuanya pasti memiliki
memori dan kenangan tersendiri bagi tiap orang.
Begitu juga dengan diriku. Di usia remaja saat ini, aku memiliki sosok
yang sangat berarti dalam hidup. Ya, mereka adalah orangtuaku. Meskipun
kehidupan kami dinilai sangat sederhana, tetapi mereka tetap mengajarkan
anak-anaknya untuk selalu bersyukur atas apa yang telah dimiliki.
Hikmah yang
mereka ajarkan tentang kehidupan, menjadikan kami selalu bersemangat dalam
meniti karir di masa yang akan datang. Dan ilmu agama yang selalu mereka
tanamkan, menjadikan kami selau ingat akan tugas dan kewajiban kami selaku
hamba-Nya.
Di suatu
sore, Ayah bercerita kepada kami mengenai kehidupannya dahulu, “Ayah dulu tidak
makan bangku sekolahan.” Setidaknya, itulah kalimat yang selalu ia utarakan
kepada kami agar selalu serius dalam menjalani studi.
Saat itu, rasa geli pun menghampiriku. Dalam hati berkata, “Siapa sih yang mau makan bangku sekolah? Hahaha.” Abang dan adikku pun
tertawa kecil mendengar perkataan
Ayah kami tersebut. Mungkin, kami bertiga memiliki pikiran yang sama saat dikatakan
hal demikian. Mungkin….
“Loh, kok
ketawa?” Tanya Ayah. “Makan bangku sekolahan bukan berarti kursi-kursi di
sekolah kalian gigitin.” Ujar Ayah menepis tawa kecil kami.
Mendengar ucapan tersebut, gelak tawa kami semakin menjadi. Ayah pun
hanya memandangi kami dengan seutas senyum terikat di wajahnya.
Setelah selesai tertawa, dengan rasa penasaran, aku bertanya, “Jadi
yang dimaksud makan bangku sekolahan itu apa, Yah?”
Selanjutnya
Ayah menjelaskan dengan nada serius. Dan kami bertiga pun seolah larut dalam
imajinasi membayangkan apa-apa yang dijelaskan oleh pria paruh baya tersebut.
Makan bangku sekolahan, adalah istilah bagi
mereka-mereka yang mengenyam masa
pendidikan formal di sekolah. Disebut makan bangku sekolahan karena istilah makan dipahami sebagai mencerna ilmu
pengetahuan dan bangku lebih akrab di
telinga masyarakat, serta istilah sekolahan
menggantikan kata pendidikan yang jelas-jelas dienyam di sekolah.
Maklum
saja, Ayahku berkata demikian karena ia memang tidak mengenyam bangku
pendidikan yang tuntas. Karena semasa kecilnya dulu ia dihadapkan dengan
persoalan kehidupan yang rumit. Dan yang dirasa paling memberatkan adalah
masalah ekonomi.
Ayah
dilahirkan dari keluarga yang tidak memiliki apa-apa. Sejak kecil, ia telah
berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Sungguh malang.” Pikirku.
Orang sebaik Ayah, harus merasakan pahitnya kehidupan sejak masa kanak-kanak.
Namun,
kesusahannya dahulu tak ingin terulang kembali pada anak-anaknya, yaitu kami.
Ia menyampaikan agar kami bisa menjadi orang sukses di masa yang akan datang.
Dan dengan kesuksesan tersebut, kami diingatkan agar selalu membantu
orang-orang yang lemah lagi butuh pertolongan. “Sungguh mulia.” Kataku dalam hati.
Memang, tak
ada orangtua yang ingin anaknya menjadi seperti dirinya. Sebaik apa pun
orangtuamu sekarang, ia pasti menginginkan anaknya jauh di atas dirinya sekarang. Begitulah kiranya keinginan
besar dari Ayahku.
Setelah larut dalam diskusi yang panjang mengenai kehidupan, akhirnya
Ayahku mengungkapkan apa alasan kehidupan kami selalu sederhana dan terkesan
bahagia tanpa banyak masalah yang rumit.
Ternyata,
doa yang ia sampaikan sewaktu muda terkabul, “Ayah tak pernah berangan-angan
untuk menjadi orang kaya, cukup untuk makan dan jauh dari masalah, itu sudah
lebih dari cukup bagi Ayah.” Katanya membuat kami tercengang.
“Jadi dulu Ayah berdoa untuk menjadi orang yang sederhana? Dan bukan
jadi orang kaya?” Tanya adik perempuanku penasaran.
Dengan mudah Ayah menjawab, “Ya.”
Beberapa
pertanyaan besar pun timbul di dalam benakku. Bagaimana mungkin seorang anak
yang asalnya adalah orang tak mampu menginginkan kehidupan yang biasa-biasa
saja, sementara orang lain di sekitarnya menginginkan hidup kaya raya?
Melihat
wajah kami yang terkesan bingung, Ayah pun langsung menjelaskan alasannya
menyampaikan doa tersebut kepada Allah SWT.
“Ayah dulu
hidupnya susah, lebih susah dari kehidupan kita sekarang. Jadi dengan hidup
berkecukupan saja, Ayah sudah sangat bahagia.” Katanya dengan nada yang lembut.
“Tapi,
mengapa Ayah betah terus hidup seperti ini? Tidakkah ada keinginan di hati Ayah
untuk menjadi orang kaya?” Tanya penasaran Abangku.
Semakin berkecamuk pertanyaan-pertanyaan di otakku. Ingin rasanya
kutumpahkan seribu pertanyaan yang terpendam di dasar hati saat itu.
Karena Ayah orang baik. Saat ia memohon kepada Allah untuk diberikan kehidupan
yang makmur, Allah akan mengabulkan. Setidaknya begitu….
Namun
tidak. Jawaban yang ia berikan kepada kami pun akhirnya membuat mataku berkaca.
Bagaimana tidak? Orang yang terlihat sederhana dari luar, ternyata memiliki
kemewahan hati yang besar di dalam.
Dengan
penuh hikmah, Ayah mengatakan, “Biarlah kehidupan Ayah sekarang jauh dari kata
makmur, tapi Ayah tak akan memaafkan diri Ayah sendiri apabila anak-anak Ayah
nanti berkehidupan sama atau di bawah Ayah.”
Sungguh
jawaban yang di luar dugaanku. Ternyata, orang yang selama ini berjuang untuk
menghidupi kami, telah memikirkan masa depan buah hatinya. Hampir menetes air
mataku saat mendengar kata-kata itu. Seorang Ayah yang sekilas tak terlihat
islami karena jarang memakai baju muslim ke mana-mana, ternyata selalu
mendoakan agar kami, anak-anaknya, menjadi orang yang berkehidupan makmur dan
jauh dari kata miskin.
“Ya Allah, berkahilah umur kedua orangtuaku
dan hindarkanlah mereka dari azab-Mu di akhirat kelak, aaamiin.” Secercah doa yang kulantunkan dalam hati saat mendengar
penjelasan beliau tadi.
Melihat
kami termenung, Ayah pun langsung mencairkan suasana, “Jangan kalian makanin
bangku di sekolah, ya.” Ujarnya dengan wajah penuh senyum.
Yang aku baca dari raut wajahnya adalah, sungguh yang ia sampaikan
tadi merupakan keinginan besar yang selalu dilantunkannya setiap doa sehabis
sholat. Cita-cita yang begitu mulia. Kerja keras yang selama ini ia lakukan adalah untuk membahagiakan kami. Dan tekadku adalah, harus
sukses dan membahagiakan mereka (orangtuaku) selagi mereka masih hidup.
Setelah suasana cair, terdengar sahutan Mamakku untuk hadir di meja
makan agar makan sore bersama. Dan ini adalah kegiatan rutin keluargaku.
Kehangatan di meja makan pun sangat terasa. Berkumpul sebuah keluarga yang
sedang meniti jalan keridhoan-Nya.
“Ayah,
Mamak, aku akan membahagiakan kalian. InsyaAllah….”
Mantap pakk. Semoga sukses
BalasHapusmantap juga nih
BalasHapus